Desa terpencil yang mendapat penghargaan dari UNESCO
Desa Wae Rebo belum banyak di kenal oleh masyarakat Indonesia sendiri tetapi justru sudah terkenal di manca negara. Kepala adat mengatakan ada pula seorang wanita warga negara Swedia yang sempat tinggal di sana selama 19 bulan untuk belajar budaya dan bahasa mereka. Orang Indonesia pertama yang mengunjungi desa terpencil ini adalah Yori Antar, arsitek dari Jakarta, dan kawan-kawan pada tahun 2008, tanpa tahu persis di mana desa ini berada. Bermodalkan gambar di kartu pos, mereka menanyakan penduduk sekitar untuk mengantarkan mereka ke desa ini. Ketika mereka sampai di sana, penduduk setempat kaget. Alexander Ngandus, warga lokal desa ini berkata, “Bagi masyarakat Wae Rebo, kehadiran mereka seperti bagian dari kunjungan Presiden Republik Indonesia. Karena tidak pernah ada orang Indonesia yang berkunjung sebelumnya kecuali wisatawan asing.
Kampung mini yang terletak di Desa Satarlenda, Kec. Satarmese Barat, Manggarai, NTT ini pun seperti negeri dongeng. Antara ada dan tiada. Bahkan, orang Manggarai sendiri jarang yang tahu Wae Rebo.
Tanggal 27 Agustus 2012. Sebuah sejarah besar untuk Wae Rebo. Badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menganugerahi Wae Rebo sebagai peraih Award of Excellence pada UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation.
Sebuah penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya. Wae Rebo mengalahkan pesaing-pesaing seluruh dunia yang tak kalah berkualitas. Adalah Mbaru Niang yang menjadikan Wae Rebo terkenal dan mendapat penghargaan. Mbaru Niang merupakan rumah khas orang Manggarai berbentuk kerucut raksasa. Meski begitu, keberadaannya di Manggarai telah digantikan mayoritas rumah ‘generik’ yang berbentuk persegi dan beratap seng. Hanya di Wae Rebo, konstruksi Mbaru Niang dapat lestari dan berjumlah lengkap. Tapi siapa sangka, Mbaru Niang di Wae Rebo juga pernah terancam kepunahan. Jumlah rumah adat memang hanya tujuh dan selalu berusaha dipertahankan masyarakat Wae Rebo. Untuk bertambah sudah tidak mungkin karena angka tujuh telah final. Tujuh melambangkan tujuh kekuatan yang menjaga desa. Tapi, untuk berkurang tidak terhindarkan akibat lapuk termakan zaman atau ketidakmampuan melakukan perbaikan. Tahun 2008, hanya tersisa tinggal empat Mbaru Niang. Dua di antaranya sudah reyot dan membahayakan penghuninya.
Adalah Yori Antar, seorang arsitek nasionalis yang membidani restorasi dan renovasi Mbaru Niang di Wae Rebo. Setelah kunjungan pertamanya bersama beberapa arsitek, Yori menggalang donasi untuk membenahi dan melengkapkan Mbaru Niang kembali menjadi tujuh. Mbaru Niang. Saat ini sudah lengkap tujuh. Hasil upaya bersama menjaga tradisi Manggarai.
Pada langkah awal, Yayasan Tirto Utomo mau membiayai perbaikan dua Mbaru Niang yang reyot. Tapi, masalahnya, informasi konstruksi Mbaru Niang sangat minim. Dua rumah pun akhirnya dibongkar untuk dipelajari, dicatat, direkam hingga kemudian dibangun kembali. Tiga Mbaru Niang lain baru dibangun pada awal 2011, ketika Pengusaha Arifin Panigoro dan Laksamana Sukardi mendanai masing-masing satu rumah.
Satu rumah lagi kembali didanai Yayasan Tirto Utomo. Adapun biaya membangun satu rumah adat Wae Rebo itu sekitar Rp 250 juta. Biaya ini sebagian besar untuk pengadaan bahan material. Adapun tenaganya dilakukan secara gotong-royong.
Penghargaan UNESCO pun menjadi apresiasi atas renovasi dan restorasi Mbaru Niang yang telah meningkatkan semangat dan kebanggaan sebuah komunitas lokal ke tingkat dunia. Renovasi itu tak hanya sukses melestarikan bentuk rumah adat, tetapi juga berhasil mengabadikan pengetahuan tradisional soal arsitektur dan tata cara adat pembangunan rumah.
“Berita penghargaan itu kami baru terima seminggu setelah pengumuman.” ungkap Aleks Dei. Wajarlah memang karena tak ada akses internet di Wae Rebo. Akses telepon saja belum ada. Listrik baru sebatas dari generator. Sebelum Yori Antar mulai merenovasi Mbaru Niang, banyak orang asing telah berdatangan ke Wae Rebo. Mereka datang, baik sebagai wisatawan ataupun peneliti. Dari tahun 2002-2009, di buku tamu tercatat ada 480 wisatawan. Tapi, miris ternyata hanya 15 orang – termasuk rombongan Yori Antar – yang merupakan wisatawan Indonesia. Betapa Wae Rebo pada awalnya merupakan ‘tempat’ asing bagi warga negeri sendiri. Jujur, saya terenyuh di dalam hati.
“Mbaru Tembong ini pernah diperbaiki pada tahun 2006 oleh dosen dan para mahasiswa dari Taiwan yang mengadakan penelitian di Wae Rebo” ungkap Vitalis, seolah menegaskan bahwa orang-orang asing lebih dulu mengenal Wae Rebo dibanding masyarakat Indonesia.
Dengan dikukuhkannya prestasi Wae Rebo di ajang internasional, kini semakin banyak wisatawan Indonesia yang datang. Pada tahun 2012, jumlah pengunjung memang masih lebih banyak asing, tetapi selisih dengan jumlah pengunjung Nusantara makin sedikit. Artinya, jumlah pengunjung dari dalam negeri kian banyak. Jelas, sebuah tren bagus untuk menggambarkan kecintaan dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap Wae Rebo. Tapi. Saya tetap khawatir. “Apakah setiap mahakarya Indonesia mesti mulai dihargai warga di negeri sendiri ketika terlebih dulu diakui di dunia Internasional? Lantas, bagaimana kalau tidak ada pengakuan? Apakah kita masih menghargai sepenuh hati, mengunjunginya setulus apa adanya? Retorika ini muncul karena saya sedih melihat realitas orang Indonesia baru ramai datang ketika Wae Rebo sudah terlebih dulu mendunia.
Perjalan panjang, sulit dan melelahkan ke Negeri di atas awan itu pada akhirnya berbuah suka cita yang tak dapat kami katakan, dan melalui perjalanan itu aku diingatkan kembali bahwa di dalam hidup ini baik di kala kita harus berjalan mendaki maupun menurun selalu akan ada proses yang harus kita hadapi dan jalani dan di dalam setiap proses itu bila kita terus bersabar menjalani dengan tak pernah putus harapan melangkah serta tetap fokus dengan tujuan kita maka pada akhirnya semuanya akan menjadi indah, seindah kunjungan kami ke desa Wae Rebo desa diatas angin yang sungguh indah.
semoga melalui tulisan ku, yang ku tambahkan informasi dari berbagai sumber ini banyak orang yang tertarik untuk mengunjungi dan melestarikan Wae Rebo agar peninggalan sejarah yang tak di miliki oleh bangsa lain ini tidak punah dan tetap nyata keberadaannya hingga anak cucu kitapun dapat melihat dan mengunjunginya.